TUGAS KULIAH
IBNU RUSYD
DISUSUN OLEH:
SUBIYANTORO
NIM :1550020
DOSEN : ISA
ANSORI, M.Ag
MATA KULIAH : FILSAFAT
ISLAM
FAKULTAS
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (MADIN)
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH SURABAYA
2012
IBNU RUSYD
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar
belakang
Kehadirannya
dalam sejarah intelektualisme islam signifikan baik bagi usaha mengurai benang
kusut pemikiran maupun dalam menghidupkan kembali filsafat yang telah memasuki
titik nadir. Hal terpenting dari kiprah Ibnu Rusyd dalam bidang ilmu
pengetahuan adalah usahanya untuk menerjemahkan dan melengkapi karya-karya
pemikir Yunani, terutama karya Aristoteles dan Plato, yang mempunyai pengaruh
selama berabad-abad lamanya. Antara tahun 1169-1195 M.
Ibnu Rusyd
banyak menulis komentar dan penjelasan terhadap karangan para filosof yunani
khususnya Aristoteles baik dalam komentar singkat (al-jami’), sederhana
(talkhis), ataupun komentar luas (tafsir), sehingga Ibnu Rusyd juga populer
dengan sebutan ”al-Syarih al-Akbar / the great commentator”.
Analisanya
telah mampu menghadirkan secara lengkap pemikiran Aristoteles. Ia pun
melengkapi telaahnya dengan menggunakan komentar-komentar klasik dari
Themisius, Alexander of Aphiordisius, al Farabi dengan Falasifah-nya, dan
komentar Ibnu Sina. Komentarnya terhadap percobaan Aristoteles mengenai
ilmu-ilmu alam, memperlihatkan kemampuan luar biasa dalam menghasilkan sebuah
observasi.
Filosof
muslim Cordova ini dianggap sebagai pensyarah pertama yang paling berpengaruh
di dataran Eropa. Banyak tokoh Eropa melakukan kajian terhadap karya-karya
beliau dalam beberapa bahasa, seperti bahasa latin, dan bahasa Ibrani. Dimana
pemikiran dan karya-karya Ibnu Rusyd ini sampai ke dunia Barat melalui Ernest
Renan.
Popularitas
Ibnu Rusyd terdongkrak saat beliau berhasil menulis ulasan tegas sebagai suatu
perlawanan ilmiah atas tuduhan-tuduhan “miring” terhadap para filosuf yang
dilancarkan Al-Ghazali dalam bukunya Tahafut Al-Falasifah (Incoherence
of Philosophers). Sanggahan yang lugas Ibn Rusyd tersusun dalam karya
besarnya Tahafut Al-Tahafut (Incoherence of Incoherence).
Dalam buku
sebelumnya--ketika Al-Ghazali pertama-tama mempelajari secara serius tentang
filsafat—Al-Munqidz Min Al-Dhalal, ia dalam kapasitasnya sebagai orang
dalam (kaum filosuf) mencoba menggolongkan para filosuf ke dalam tiga kelompok,
yaitu :
a. Kelompok Dahriyyun
(skeptis) yang berkeyakinan bahwa tuhan tidak ada.
b. Kelompok Thabi’iyyun (
Naturalis) , bagi mereka yang sangat tertarik soal-soal kealaman, kesimpulan
yang dapat ditarik adalah jiwa akan hancur bersama hancurnya jasad, sehingga
tidak ada dunia selain dunia saat ini, tiada alam kubur, akhirat, surga maupun
neraka.
Untuk
kedua golongan di atas, Al-Ghazali dengan berani menyebut mereka sebagai zindiq
atau bahkan kafir.
c. Kelompok Ilahiyyun
(Metafisika), mereka mengakui adanya tuhan. Yang tergolong kelompok ini adalah
Socrates, Plato, dan Aristoteles.
Sedang
pada buku keduanya, Tahafut Al-Falasifah, Al-Ghazali terang-terang
memposisikan dirinya sebagai tokoh muslim yang telah mempelajari filsafat
dengan mendalam mendobrak dua puluh kesesatan dan kebobrokan filsafat dan para
filosuf yang dianggapnya telah membawa kepada bid’ah dengan kafir sebagai ujungnya.
Dalam hal ini tak terkecuali para filosuf muslim terutama Al-Farabi dan Ibn
Sina. Tiga di antaranya yang kemudian mendapat tanggapan balik cukup kritis
dari Ibn Rusyd adalah 1) Kekadiman Alam, 2) Pengetahuan Tuhan terhadap hal-hal
yang Universal, dan 3) kebangkitan Jasmani Manusia di Akhirat. Ulasan lebih
lanjut akan diuraikan dalam bab pembahasan.
Al-Ghazali
begitu luas pengaruhnya sampai ada yang mengatakan tiada orang yang pengaruhnya
lebih luas setelah Nabi Muhammad selain Al-Ghazali. Akan tetapi justru karena
pengaruh hebat itu hingga “menidurkan” kreatifitas dan semangat keilmuan umat
Islam. Tak heran kalau kemudian muncul sinyalemen seperti dituturkan oleh Yusuf
Qardawi bahwa Al-Ghazali harus bertanggung jawab atas kemunduran Islam secara
keseluruhan.
Bagaimana Ibnu Rusyd menguraikan
lebih lanjut teori rasionalnya, inilah yang akan menjadi pokok masalah dalam
tulisan berikut.
B .Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang masalah
di atas maka dapat dirumuskan beberapa masalah dalam pembahasan masalah ini,
antara lain:
1.
Biografi Ibnu Rusyd.
2.
Karya-karya Ibnu Rusyd.
3.
Pokok-pokok pikiran Ibnu Rusyd.
4.
Analisa penulis tentang pokok
pikiran Ibnu Rusyd.
C. Tujuan makalah
Adapun yang menjadi
tujuan pembuatan makalah ini adalah :
1. Untuk memenuhi tugas kuliah
2.
Mengetahui pokok pikiran Ibnu Rusyd
3.
Memahami pola pemikiran Ibnu Rusyd
4.
Memahami pentingnya ilmu filsafat
5.
Menambah wawasan dan keilmuan
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Ibnu Rusyd
Abu Walid Muhammad bin Rusyd lahir di Kordoba (Spanyol)
pada tahun 520 Hijriah (1128 Masehi). Ayah dan kakek Ibnu Rusyd adalah
hakim-hakim terkenal pada masanya. Ibnu Rusyd kecil sendiri adalah seorang anak
yang mempunyai banyak minat dan talenta. Dia mendalami banyak ilmu, seperti
kedokteran, hukum, matematika, dan filsafat. Ibnu Rusyd mendalami filsafat dari
Abu Ja'far Harun dan Ibnu Baja.
Ibnu Rusyd adalah
seorang jenius yang berasal dari Andalusia dengan pengetahuan ensiklopedik.
Masa hidupnya sebagian besar diberikan untuk mengabdi sebagai "Kadi"
(hakim) dan fisikawan. Di dunia barat, Ibnu Rusyd dikenal sebagai Averroes dan
komentator terbesar atas filsafat Aristoteles yang memengaruhi filsafat Kristen di abad pertengahan,
termasuk pemikir semacam St.
Thomas Aquinas’ Banyak orang
mendatangi Ibnu Rusyd untuk mengkonsultasikan masalah kedokteran dan masalah
hukum.
B.
Karya-Karya Ibnu Rusyd.
Sejarah
mencatat bahwa Ibn Rusyd adalah seorang sarjana yang sangat produktif. Ia rajin
menimba ilmu dan mengamalkannya, membaca dan mengarang, sehingga tak satu malam
pun berlalu tanpa guna, kecuali hanya dua malam saja, yaitu hari meninggal
ayahnya dan malam perkawinannya.
Ia menulis
sejak usia 34 tahun (usia paling pruduktif, tak menafikan bahwa beliau sudah
menulis sebelum usia itu—pen.)dan tak pernah berhenti hingga menjelang
wafatnya. Adalah Ernest Renan, setelah menjelajah ke berbagai perpustakaan Eropa,
menemukan daftar karya-karya Ibn Rusyd di perpustakaan Escurial, Madrid yang
berjumlah 78 buku yang terperinci sebagai berikut :
28
buah dalam ilmu falfafat
20
buah dalam ilmu kedokteran
8
buah dalam ilmu hukum (fiqih)
5
buah dalam ilmu teologi (kalam)
4
buah dalam ilmu perbintangan (astronomi)
2
buah dalam ilmu sastra Arab
dan
11 buah dalam berbagai ilmu.
Karya-karya
tersebut hanya sedikit yang sampai ke tangan kita, sebagian lagi sudah
diterjemahkan ke bahasa Latin dan Yahudi.
Di antara
karangan-karangan dalam soal filsafat yang tercatat oleh Poerwantana
adalah :
1. Tahafut Al-Tahafut
2. Risalah fi Ta’alluqi Ilmillahi an ‘Adami Ta’alluqihi bi
Al-Juz’iyyat
3. Tafsir Ma ba’da al-Thabiat
4. Fasl Al-Maqal fi Ma baina Al-Hikmah wa Al-Syari’ah min
Al-Ittishal
5. Al-Kasyfu an Manahij Al-Adillah fi Aqaid Ahli Al-Millah
6. Naqdu Nadzariyat Ibn Sina an Al-Mumkin
7. Risalah fi Al-Wujud Azali wa Al-Wujud Muaqqat
8. Risalah fi Al-Aqli wa Al-Ma’qul.
Bidang Kedokteran
1. Kitab Al-Kulliyat (Culliyat Generalis)
2. Syarh Urjuzat Ibn Sina fi Al-Thib (Comentary sur le
Poeme Medical d’Ibn Sina Appele Ajuza)
3. Al-Tiryaq (De la Theriaque)
4. Risalah Al-Mufradat (De Simplicibus)
5. Fi Al-Mijazi Al-Mu’tadil (De
Temperamenst Equx un Traite)
dan
lain-lain.
Bidang
Fiqh
1. Bidayat Al-Mujtahid wa Al-Nihayat Al-Muqtashid
2. Mukhtashar Mustashfa bi Ushul Al-Fiqh
3. Al-Da’awi
4. Durus fi Al-Fiqh
5. Kitab Al-Kharaj
Dan lain-lain
Bidang Politik
1. Jawami’ Siyasiyat Aflathun
2. Talkhis Kitab Al-Ahlaq ila Niqumakhus
3. Al-Kharaj
4. Syarkh Aqidat Al-Imam Mahdi
5. Makasib Al-Muluk wa Murabina
Al-Muharram
Dan lain-lain.
Memperhatikan
buku-buku di atas, maka karya-karya Ibn Rusyd dapat dikelompokkan menjadi tiga
golongan; komentar, kritik dan pendapat. Adapun komentar terbagi ke dalam tiga
kategori; singkat (summary, jami’), sederhana (resume, talkhis),
dan luas (comentary, syarh, tafsir).
C. Pokok – pokok pikiran Ibnu Rusyd
1. Penyelarasan Filsafat dan agama
Dalam
pendapatnya Ibn Rusyd menyatakan bahwa filsafat tidak bertentangan dengan
Islam. Bahwa orang Islam diwajibkan atau paling tidak dianjurkan
mempelajarinya. Tugas filsafat tidak lain ialah berpikir tentang wujud untuk
mengetahui pencipta semua yang ada. Dalam Al-Qur’an terdapat banyak ayat yang menghimbau
agar mempelajari filsafat.
Untuk
menghindari adanya pertentangan antara pendapat akal serta filsafat di satu
sisi dan teks Al-Qur’an disisi yang lain, Ibn Rusyd menandaskan bahwa teks
Al-Qur’an hendaknya diberi interpretasi sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
pendapat akal melalui jalan ‘ta’wil. Hal serupa
menurutnya telah dilakukan oleh ulama fiqih dalam masalah hukum. Jadi, filosuf
pun boleh dan berhak melakukannya.
Dalam menanggapi
kandungan isi Al-Qur’an’ ia membagi manusia ke dalam tiga kelompok, yaitu awam
(illeteral), pendebat, dan ahli pikir (literal). Kepada golongan
awam, Al-Qur’an tidak dapat ditakwilkan, karena mereka hanya hanya dapat
memahami secara tertulis, sedangkan kepada golongan pendebat juga sulit untuk
disampaikan takwil. Oleh karena itu , takwil harus ditulis hanya dalam
buku-buku khusus yang diperuntukkan bagi golongan ahli pikir, agar orang-orang
yang bukan ahlinya tidak membaca dan menyebarkannya.
Ibn
Rusyd juga menyetujui pendapat bahwa Al-Quran mempunyai makna batin di samping
makna lahir yang umum diketahui. Sebab dalam kenyataan memang manusia memiliki
naluri dan kemampuan yang berbeda. Makna batin hanya dapat diselami oleh ahli
pikir dan filosuf dan tak mampu dicerna kaum awam.
Wahyu
dibagi kedalam tiga bentuk makna yang terkandung didalamnya yaitu :
• Teks
yang maknanya dapat difahami dengan tiga metode yang berbeda (metode retorik,
dialektik dan demonstratif)
• Teks
yang maknanya hanya dapat diketahui dengan metode demonstrasi. Makna yang
terkandung dalam teks ini terdiri dari:
a) makna dzahir, yaitu teks yang mengandung simbol-simbol (amtsal) yang dibuat untuk menerangkan idea-idea yang dimaksud.
b) makna batin, yaitu teks yang mengandungi idea-idea itu sendiri dan hanya dapat difahami oleh yang disebut ahli al-burhan.
a) makna dzahir, yaitu teks yang mengandung simbol-simbol (amtsal) yang dibuat untuk menerangkan idea-idea yang dimaksud.
b) makna batin, yaitu teks yang mengandungi idea-idea itu sendiri dan hanya dapat difahami oleh yang disebut ahli al-burhan.
• Teks
yang bersifat ambiguos antara dzahir dan batin. Klassifikasi teks wahyu ini
juga merujuk kepada kemungkinan untuk dapat difahami dengan akal.
Maka itu
ia memahami istilah “ta’wil” sebagai penafsiran dan penjelasan ucapan, ia tetap
menekankan pada kesesuaiannya dengan makna dzahir dari lafadz ucapan itu. Dalam
pandangannya perkataan dzahir yang dapat difahami dari lafadz bermacam-macam
bentuknya, ada yang menurut konteksnya dan ada pula yang difahami sesuai dengan
ikatan-ikatan yang ada didalamnya.
Untuk itu,
Ibnu Rusyd menetapkan tiga syarat, agar ta’wil itu dapat diterima:
1) menjaga agar lafadz itu sesuai dengan makna
yang terdapat dalam Bahasa Arab dan maksud al-syari’ serta tidak memahami
dengan makna lain.
2) menjaga agar maknanya sesuai dengan yang dimaksudkan oleh pembicara dalam konteks lafaznya.
3) memperhatikan “mustawa al-ma’rifi” (tingkatan nalar dan pengetahuan) kepada siapa “ta’wil” itu dihadapkan.
2) menjaga agar maknanya sesuai dengan yang dimaksudkan oleh pembicara dalam konteks lafaznya.
3) memperhatikan “mustawa al-ma’rifi” (tingkatan nalar dan pengetahuan) kepada siapa “ta’wil” itu dihadapkan.
Oleh itu
kita tidak boleh menta’wilkan lafadz-lafadz al-Qur’an dengan sesuka hati tanpa
mengkaji maksud yang sesungguhnya sesuai dengan konteks masing-masing lafadz.
2. Filsafat Jiwa.
Seperti
halnya Aristoteles, Ibn Rusyd juga membagi manusia atas dua unsur, materi dan
bentuk (forma). Materi adalah jasad, adapun bentuk adalah jiwa. Jiwa
merupakan kesempurnaan pertama bagi jasad.
Jiwa
terbagi atas lima bentuk, yaitu:
a. Jiwa Nabati (an-nafs an-nabatiyah), yang mempunyai
daya-daya: makan/minum, tumbuh dan berkembang biak.
b. Jiwa Inderawi (an-nafs al-hassah), yang memiliki
daya melihat, mendengar, mencium, merasa, dan meraba.
c. Jiwa Keinginan (an-nafs an-nuzu’iyyah) yang
mempunyai daya mengingini sesuatu yang disenangi dan berpaling dari yang tidak
disukai.
d. Jiwa Khayali (an-nafs al-mutakhayyilah), yang
mempunyai daya-daya menghayal apa-apa yang telah didapat panca indera.
e. Jiwa Penalaran (an-nafs an-nathiqiyah) yang
memiliki daya untuk menanggapi hal-hal yang abstrak yang telah lepas dari
materi.
Jiwa
yang dimiliki tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia adalah jiwa nabati. Jiwa
inderawi dan jiwa keinginan dipunyai hewan dan manusia. Adapun yang khusus
diperuntukkan manusia adalah jiwa khayali dan jiwa penalaran.
Dengan
jiwa khayali, manusia dapat memproduksi apa yang telah dicapai oleh inderanya
dalam bentuk ketidakpastian. Sedangkan dengan jiwa penalaran, manusia dapat
mencapai pengetahuan-pengetahuan positif.
Jiwa
penalaran mempunyai dua bagian, akal teoritis dan akal praktis. Akal praktis
merupakan suatu daya yang dipergunakan setiap orang dalam melaksanakan
pekerjaan-pekerjaannya yang praktis. Sedangkan akal teoritis merupakan daya
nalar yang banyak tertuang pada hal-hal yang abstrak dan dia lebih bersifat
ilahiyah. Oleh sebab itu jiwa akal teoritis ini diaktifkan, ia akan dapat
berhubungan dengan akal fa’al.
Dalam
usaha mencapai kebenaran, Ibn Rusyd menempuh metode penggunaan nalar (rasional)
ketimbang Al-Ghazali yang memilih jalan intuisi (mistikal).
3.
Metafisika
Dalam
masalah ketuhanan, Ibnu Rusyd berpendapat bahwa Allah adalah Penggerak Pertama
(muharrrik awal). Sifat positif yang dapat diberikan kepada Allah ialah
“Akal” dan “Ma’qul”. Wujud Allah ialah Esa-Nya. Wujud dan ke-Esaan-Nya tidak
berbeda dari Zat-Nya.
Konsepsi
Ibnu Rusyd tentang ketuhanan jelas sekali merupakan pengaruh Aristoteles,
Plotinus, Al-Farabi, dan Ibnu Sina, disamping keyakinan agama Islam yang
dianutnya. Mensifati tuhan dengan “Esa” merupakan ajaran Islam, tetapi
menamakan Tuhan sebagai Penggerak Pertama tidak pernah dijumpai dalam pemahaman
Islam sebelumnya, hanya ditemukan dalam filsafat para tokoh di atas.
Cara
mengenal tuhan menurut golongan tasawuf bukan bersifat pemikiran yang tersusun
dari premis-premis yang menghasilkan kesimpulan. Karena menurut mereka mengenal
Tuhan dan wujud-wujud lain adalah melalui jiwa ketika sudah lepas dari
hambatan-hambatan kebendaan dan menghadapkan pikiran kepada apa yang dituju.
Bagi Ibnu Rusyd, pemahaman seperti ini tidak dapat diberlakukan umum. Bahkan,
jalan tersebut berlawanan dengan syariat yang menyuruh kita menggunakan akal
pikiran.
Ibnu
Rusyd menerangkan dalil-dalil yang meyakinkan :
a. Dalil inayah al-ilahiyah
(pemeliharaan Tuhan). Dikemukakan bahwa alam ini seluruhnya sangat teratur dan
sesuai dengan kehidupan manusia. Persesuaian ini tidak mungkin terjadi secara
kebetulan, tetapi menunjukkan adanya pencipta yang bijaksana. Ayat suci yang
mendukung dalil ini diantaranya Q.S. Al-Naba’/78: 6-7.
b. Dalil Ikhtira’ (dalil
ciptaan). Termasuk dalam dalil ini ialah wujud segala macam hewan,
tumbuh-tumbuhan, langit, dan bumi. Segala yang maujud di alam ini adalah
diciptakan. Segala yang diciptakan harus ada yang menciptakan, yakni Sang
Pencipta. Ayat pendukung dalil ini antara lain Q.S. Al-Hajj/22: 73.
c. Dalil Harakah (gerak).
Alam semesta ini bergerak dengan suatu gerakan yang abadi. Gerakan tersebut
menunjukkan adanya penggerak pertama yang tidak bergerak dan bukan benda, yakni
Tuhan.
Dalil
pertama dan kedua disepakati oleh semua pihak sesuai dengan syariat.
Dalil-dalil tersebut sesuai pula dengan teori filsafat. Adapun dalil ketiga
ialah dalil yang pertama kali dicetuskan oleh Aristoteles yang kemudian
dipergunakan Al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd sendiri.
4. Kekadiman dan Kekekalan Alam
Pendapat
para filosuf bahwa alam kekal dalam arti tidak bermula tak dapat diterima
kalangan teologi Islam, sebab menurut konsep teologi mereka, tuhan adalah
Pencipta, yang mengadakan sesuatu dari tiada (cretio ex nihilo). Kalau
alam dikatakan tidak bermula, berarti alam bukanlah diciptakan, dan tuhan bukan
pencipta. Pendapat ini membawa kekufuran. Demikian Al-Ghazali berargumen.
Para
filosuf memang meyakini bahwa alam ini kadim. Kadim yang dimaksud adalah
sesuatu yang dalam kejadian terus-menerus (ma huwa fi huduts da’im),
tidak mempunyai permulaan dalam waktu. Pendapat ini disimpulkan dari pandangan
mereka bahwa alam ini diciptakan dari sesuatu, bukan dari tidak ada.
Ibnu
Rusyd menilai pendapat creatio ex nihilo, tidak mempunyai dasar yang
kuat. Tidak ada ayat yang mengatakan bahwa tuhan pada mulanya berwujud sendiri,
tidak ada wujud lain selain-Nya. Kemudian barulah Ia mencipta alam.
Surat
Fushilat : ayat 11 ; dikatakan
bahwa Tuhan menciptakan 2 bumi dalam 2 masa menghiasi bumi dengan gunung dan
diisi dengan berbagai macam makanan, kemudian Tuhan naik ke langit, yang masih
merupakan uap, sehingga dita’wilkan langit tercipta dari uap.
Surat
al-Anbiya’ : ayat 30 ;
dikatakan bahwa bumi dan langit pada mulanya adalah satu unsur yang sama,
kemudian dipecah menjadi dua benda yang berlainan.
Surat Hud/11: ayat 7 yang berbunyi :
“Dan
dialah yang menciptakan langit-langit dan bumi dalam enam hari dan tahta-Nya
(pada waktu itu) berada di atas air, agar Dia menguji siapa di antara kamu yang
lebih baik amalnya.”
Kandungan
ayat itu bagi Ibnu Rusyd bahwa sebelum adanya wujud langit-langit dan bumi,
telah ada wujud yang lain, yaitu wujud air yang diatasnya terdapat tahta
kekuasaan tuhan. Pendeknya, sebelum langit dan bumi diciptakan, telah ada air
dan tahta. Begitu pula pada Q.S. Hamim/41: 11 (penciptaan dari uap) dan
Al-Anbiya’/21: 30 (bumi dan langit dari unsur yang sama lalu dipisahkan).
Jadi dapat
ditarik kesimpulan bahwa bumi dan langit dijadikan dari uap atau air dan bukan
dari tiada. Dengan demikian alam dari arti unsurnya bersifat kekal dari zaman
lampau yaitu qadim, dan akan kekal selama-lamanya seperti bunyi ayat Q.S.
Ibrahim/4: 47-48.
Untuk
menengahi bahwa alam itu qodim, Ibnu Rusyd mengatakan bahwa sebenarnya antara
Filosof dan ahli Syari’ah telah sepakat bahwa ada tiga macam “wujud” (yang
berkaitan dengan hal ini) :
• Wujud
baru (karena sebab sesuatu) Dari sesuatu yang lain, dan kerena sesuatu.
Yakni zat pembuat dari benda, ini adalah benda yang kejadiannya bisa terlihat
oleh panca indra, seperti terjadinya air, udara, bumi, hewan, tumbuh-tumbuhan,
dsb.
• Wujud
Qodim (tanpa sebab sesuatu) yaitu wujud yang bukan dari sesuatu, tidak karena
sesuatu, dan tidak didahului oleh zaman. Wujud ini tidak dapat diketahui dengan
bukti-bukti fikiran, seperti “Tuhan”
• Wujud
Antara (Wujud diantara kedua wujud ini) wujud yang bukan dari sesuatu, dan
tidak didahului oleh zaman, tetapi wujud karena sesuatu (yaitu zat pembuat),
wujud itu adalah “alam dan keseluruhan.
5.
Pengetahuan Tuhan terbatas Pada Yang Universal
Oliver
Leaman menulis, Ibnu Rusyd sebenarnya kurang sependapat dengan pemikiran Ibnu
Sina yang menyatakan bahwa Tuhan mengetahui segala sesuatu di alam ini melalui
pandangan-Nya yang tajam dengan hanya sekali ”kedipan”. Dalam komentarnya dalam
Metaphysics Lambda ia mengkritik pendekatan indentifikasi pengetahuan
Tuhan dengan pengetahuan universal. Ibn Rusyd ingin mengambil jarak dari
pendapat umum para filosuf yang berpandangan bahwa pengetahuan partikular Tuhan
masuk dalam pengetahuan universal-Nya. Sebaliknya ia berpendapat Tuhan
mengetahui segala yang ada (termasuk yang partikular) sejak esensi-Nya
menyebabkan eksistensi segalanya.
Ia
mengambil contoh bahwa kita mengetahui hubungan antara api dan panasnya. Kita
tahu apa yang yang menyebabkan panas dan apa yang dinamakan panas. Pengetahuan
semacam ini tidak dapat disebut pengetahuan universal maupun partikular.
Agaknya
Ibnu Rusyd tidak ingin membedakan antara pengetahuan universal dan partikular.
Karena menurutnya Tuhan mengetahui segalanya sejak eksistensi-Nya. Jadi perlu
dibedakan antara pengetahuan Tuhan dan manusia. Pengetahuan manusia bersifat
baru, sedang pengetahuan Tuhan bersifat kadim, semenjak azali mengetahui segala
hal yang terjadi di alam ini betapun kecilnya.
Pertentangan
antara Al-Ghazali dan para filosuf timbul dari penyamaan pengetahuan Tuhan
dengan pengetahuan manusia. Pengetahuan manusia tentang perincian diperoleh
melalui panca indera dan pengetahuan itu akan selalu berubah-ubah dan
berkembang sesuai dengan hasil penginderaannya. Adapun pengetahuan Tuhan
diperoleh melalui akal dan sifat-Nya. Tidak ada hubungan secara langsung dengan
materi yang rinci. Jadi, rupanya Al-Ghazali sedikit kurang memahami maksud para
filosuf, demikian Hasyimsyah Nasution menyimpulkan.
6. Pengingkaran Kebangkitan
Jasmani.
Para
Filosuf yang mengatakan bahwa di akhirat manusia akan dibangkitkan kembali
dalam wujud rohani, tidak dalam wujud jasmani adalah kafir. Pendapat Al-Ghazali
ini didasarkan pada banyaknya ayat Al-Qur’an yang yang jelas dan tegas
menyatakan bahwa manusia akan mengalami pelbagai kenikmatan jasmani di dalam
surga atau kesengsaraan jasmani di neraka. Ajaran Al-Qur’an dalam hal ini tidak
dapat ditakwilkan.
Dalam
membantah gugatan dan vonis Al-Ghazali itu, Ibnu Rusyd menandaskan bahwa para
filosuf tidak menolak kebangkitan, bahkan semua agama samawi mengakui adanya
kebangkitan ukhrawi. Hanya saja sebagaian berpendapat bahwa kebangkitan
tersebut dalam bentuk ruhani dan sebagian lain berpandangan kebangkitan itu
dalam bentuk ruhani dan jasmani sekaligus.
Meskipun
Ibnu Rusyd cenderung berpendapat bahwa kebangkitan di akhirat nanti dalam
bentuk ruhani saja--menurutnya kebahagiaan yang hakiki adalah kebahagiaan jiwa
bukan jasmani ,namun ia tidak menafikan kemungkinan kebangkitan jasmani
bersama-sama ruhani. Kalaupun kebangkitan ukhrawi tersebut dalam bentuk fisik,
dimana ruh-ruh akan menyatu dengan jasadnya sebagaimana keadaannya di dunia,
tetapi jasad tersebut bukanlah jasad yang ada di dunia, sebab jasad duniawi
telah hancur dan lenyap sehingga mustahil untuk kembali.
Namun
sebenarnya, kata Ibnu Rusyd, Al-Ghazali pada akhirnya mengakui bahwa
kebangkitan ukhrawi hanya bersifat ruhani saja. Pengakuan ini ia sampaikan
dalam bukunya yang bertopik kesufian. Dengan demikian batallah tuduhan
pengkafiran kaum filosuf.
D. Analisa pemikiran Ibnu Rusyd
Filosof
muslim penganut madzhab Maliki dalam
bidang fikih ini telah menorehkan warna filsafat yang lebih spesifik. Beliau
sangat menyayangkan terjadinya perpecahan dikalangan kaum Muslimin, menjadi
golongan-golongan seperti Mu’tazilah, khawarij, Syi’ah dll. Masing-masing
mengaku telah mencapai kebenaran, sedang lainnya sesat. Hal ini tidak lain
dikarenakan salah memahami maksud Syari’at.
Dengan
pemikiran-pemikirannya dan pendapat-pendapatnya ia tidak bermaksud menimbulkan
golongan baru, tetapi ia hendak mengemukakan argumentasi-argumentasi
kepercayaan-keprcayaan agama yang tepat diterima oleh setiap orang. Tujuan
filosof besar ini tak lain hanya ingin mengharmonikan antara agama dan akal,
dan sangat mengajarkan pada kita tuk saling menghargai dan ramah tamah.
Dari
perspektif penulis, ada suatu penilaian khusus dengan menempatkan filsafat Ibnu
Rusyd secara lebih proporsional. Dalam pandangan ini, Ibnu Rusyd bukan seorang
materialis murni, juga bukan seorang idealis religius sejati, namun lebih
sesuai sebagai filosof muslim yang berusaha merambah jalan tengah diantara dua
belantara pemikir islam.
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Sejatinya
Ibnu Rusyd hanya ingin menghidupkan kembali cahaya filsafat yang pada saat itu
semakin meredup, bahkan umat islam sampai sekarangpun masih dapat menikmati
panorama filsafat itu, meskipun tidak seindah di barat (ini adalah bukti
perjuangannya).
Ibn Ruysd
tidak sezaman dengan Al-Ghazali. Mereka terpaut satu generasi. Namun perdebatan
mereka sungguh seru, terutama dalam tiga soal, yakni kekadiman alam,
pengetahuan Tuhan terbatas kepada yang Universal, dan Kebangkitan Jasmani di
Akhirat. “Perseteruan ilmiah” itu membuktikan bahwa Islam membuka
selebar-lebarnya bagi pencarian dan pencapaian kebenaran, tanpa dibatasi oleh
masa, tempat, pangkat atau apapun namanya.
Akhir
kalam, apapun pandangan filosofis Ibnu Rusyd sama sekali tidak bermaksud
mengatakan bahwa pemikiranya adalah paling benar (karena itu hanya merupakan
sebuah ijtihad) Ijtihad seorang manusia bisa saja benar dan bisa saja salah,
hakikat kebenaran hanya Allah Swt yang mengetahui dan memilikinya. wallahu
a’lam bishawab
Daftar
Pustaka
Abidin, Zainal, Ahmad, Riwayat
Hidup Ibnu Rusyd, Filosuf Islam terbesar di Barat, (Jakarta: Bulan Bintang,
1975), cet. ke-1
Ali,Yunasril, Perkembangan
Pemikiran Falsafi dalam Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), cet. ke-1,
Bertens, K., Sejarah
Filsafat Yunani, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), cet. ke-10
Daudy, Ahmad, (ed.),
Segi-segi Pemikiran Falsafi dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), cet.
Ke-1
Dewan Redaksi, Ensiklopedi
Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1994), jilid 2, cet. Ke-3
Fuad, Ahmad, Al-Ahwani, alih
bahasa: Pustaka Firdaus, Filsafat Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1997), cet. Ke-8
Ghazali, Al-, alih bahasa:
Abu Ahmad Najieh, Penyelamat dari Kesesatan , (Surabaya: Risalah Gusti,
1997)
Hanafi, Ahmad, Pengantar
Filsafat Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1996), cet. ke-6
Hadiwijono, Harun, Sari
Sejarah filsafat Barat I, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), cet. ke-12
Hyman, Arthur & James J.
Walsh (Ed.), Philosophy in The Middle Ages, The Christian, Islamic, and
Jewish Tradistions, ( New York: Harper & Row, Publishers, 1967),
Kartanegara, Mulyadhi, Mozaik
Khazanah Islam, Bunga Rampai dari Chicago, (Jakarta: Paramadina, 2000),
cet. Ke-1
Leaman, Oliver, Averroes and His Philosophy, (New York
University Press, 1988)
____________, alih bahasa:
Amin Abdullah, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: CV. Rajawali, 1989),
cet. Ke-1
Madjid , Nurcholish (ed.),
Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), cet.ke-3
Madkour, Ibrahim, Fi
Al-Fasafah Al-Islamiyah, Minhaj wa Tathbiquhu, juz II, (Mesir: Darul
Ma’arif, tt.)
____________,alih bahasa:
Yudian Wahyudi dan A. Hakim, Filsafat Islam, Metode dan Penerapan, (Jakarta:
CV Rajawali, 1988), Bagian I, cet. ke-1
Musa, Yusuf, alih bahasa: M.
Thalib, Al-Qur’an dan Filsafat, ( Yogyakarta, PT. Tiara Wacana yogya,
1991), cet. ke-1
Nasution, Harun, Falsafat
dan Mistisime dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1999), cet. ke-10,
Nasution , Hasyimsyah, Filsafat
Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999),cet.ke-1
Poerwantana (dkk), Seluk-Beluk
Filsafat Islam, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 1994), cet. ke-4,
Praja, Juhaya S., Aliran-aliran
Filsafat dan Etika, Suatu Pengantar, (Bandung: Yayasan PIARA, 1997), h.
136-139
Qardawi, Yusuf, alih bahasa:
Pro-Kontra Pemikiran Al-Ghazali, (Surabaya:Risalah Gusti, 1997), cet.
Ke-1
Syarif, MM. (ed.), Para
Filosuf Muslim, (Bandung : Mizan, 1996), cet. ke-8
Tafsir, Ahmad, Filsafat
Umum, Akal dan Hati, dari Thales sampai James, (Bandung: PT Remaja Rosda
karya, 1994), cet. Ke-4, h. 85-101.
Urvoy,
Dominique, Ibn Rusyd (Averroes), (New York: Routledge, 1991
.Dr. Manna Ahmad Abu Zaid, Musu’ah al-Falsafah
al-Islamiyah. Hal- 68
Ibnu Rusyd, al-Dhorury fi ushul al-fiqh, Darul maghrib al-Islamy bairut, hal- 64 65.
Dr. Muhammad ‘Abid al-Jabiri, makalah al-Madrasah al-Falsafiyah fi al-Maghrib wa al-Andalus.
Abu Hamid Ghazali, Tahafut al-Falasifah, Cairo
Abu al-Walid Muhammad ibnu Rusyd, Tahafut-Tahafut, Cairo
Averroes and Averroisme, Ernest Renan. Yang diterjemahkan ‘Adil Za’iyyah dalam bukunya “Ibnu Rusyd wa rusydiyah” maktabah al-tsaqofah al-Diniyyah, Cairo.
Ibnu Rusyd, al-Dhorury fi ushul al-fiqh, Darul maghrib al-Islamy bairut, hal- 64 65.
Dr. Muhammad ‘Abid al-Jabiri, makalah al-Madrasah al-Falsafiyah fi al-Maghrib wa al-Andalus.
Abu Hamid Ghazali, Tahafut al-Falasifah, Cairo
Abu al-Walid Muhammad ibnu Rusyd, Tahafut-Tahafut, Cairo
Averroes and Averroisme, Ernest Renan. Yang diterjemahkan ‘Adil Za’iyyah dalam bukunya “Ibnu Rusyd wa rusydiyah” maktabah al-tsaqofah al-Diniyyah, Cairo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar