Kamis, 24 Januari 2013

Pembukuan Dan Pembakuan Al-Qura'an


PEMBUKUAN DAN PEMBAKUAN AL-QUR’AN
by Subiantoro

PENDAHULUAN
Kajian Al Qur’an (ulumul Qur’an) sebagai salah satu disiplin ilmu keislaman dengan membahasAl Qur’an secara komprehensip dan integral dari berbagai aspeknya telah di populerkan sejak sebelas abad silam oleh Ibn Al Marzubah (w.309 H). Ilmu ini dikembangkan, diperluas dan disempurnakan oleh ulama’ sesudahnya sampai pada Imam Jalaluddin As Suyuthi (w.911H) di buktikan dengan karya ilmiahnya, Al Itqan fi ulumil Qur’an yang secara lengkap dan sistematis membahas tentang Ulumul Qur’an. Di samping itu banyak di kalangan orientalis (mutasyriqun) terutama pada abad ke 19 M/12H antara lain William Muir, G. Weil, Neodeke, R. Bell, A.Rodwell dan lainnya telah mengadakan penelitian dan pembahasan tentang Al Qur’an dari berbagai aspeknya.

PEMBAHASAN
Tinjauan umum tentang Al Qur,an
a. Pengertian Al Qur,an
Ada beberapa pengertian yang telah di kemukakan ulama, dari berbagai disiplin keahliannya, baik dalam bidang bahasa, ilmu kalam, ushul fiqih dan sebagainya. Pengertian yang mereka buat antara satu sama lainnya ada sedikit perbedaan.Dalam hal ini tentu bertendensi pada kecenderungan mereka masing- masing.
Syaikh Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah mengemukakan pengertian Al Qur’an dalam bukunya sebagai berikut :
القران الكريم: هو كتاب الله عز و جل المنزل على خاتم أنبيائه محمد صل الله عليه وسلم بلفظه ومعناه, المنقول بالتواتر المفيد القطع واليقين المكتوب في المصاحف من اول سورة الفاتحة الى اخر سورة الناس
Al-Qur’an al-karim adalah kitab Allah Azza wa Jalla yang diturunkan kepada nabi terakhirnya, Muhammad SAW secara lafal dan maknanya, diriwayatkan secara mutawatir, berfaidah untuk memeri ketetapan dan keyakinan, tarmaktub dalam mushaf mushaf yang diawali surat al fatihahdan di akhiri dengan surat An Nas.

Sedangkan Dr.Subhi al-Salih merumuskan pengertian Al qur’an yang di pandang dapat diterima oleh para ulama terutama ahli bahasa, fiqih dan ushul fiqih sebagai berikut :
القرأن هو الكتاب المعجز المنزل على النبى صل الله عليه وسلم المكتوب في المصاحف المنقول بالتواتر المتعبد بتلاوته
Al Qur’an adalah firman Allah yang bersifat mukjizat, diturunkan kepada nabi Muhammad yang tertulis dalam mushaf mushaf, diriwayatkan secara mutawatir dan yang membacanya di pandang ibadah.

b. Nama-nama Al Qur’an
Al Qur’an memiliki beberapa nama selain nama Al Qur’an itu sendiri. Penamaan tersebut didasarkan pada firman Allah sebagai berikut :
1. Al Qur’an, terdapat dalam surat Al Baqarah, ayat 185.
2. Al Furqan, terdapat dalam surat Al Furqan, ayat 1.
3. Al Kitab, terdapat dalam surat An Nahl,ayat 89.
4. Adz Dzikr, terdapat dalam surat Al Hijr, ayat 9.
Dari beberapa nama yang tersebut di atas yang paling populer adalah al Qur’an.Nama Al Qur’an memiliki keistimewaan dibanding dengan nama yang lain, yaitu kata Al Qur’an hanya digunakan untuk sebutan nama kitab Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW dan tidak digunakan pada sebutan yang lain. Sedangkan nama-nama yang lain bersifat umum, selain digunakan untuk sebutan Al Qur’an juga digunakan pada sebutan yang lain.
c. Sejarah Ringkas Turunnya Al-Qur’an
Al Qur’an diturunkan ke dunia secara berangsur angsur selama kurang lebih 2 tahun 2 bulan 22 hari. Berupa beberapa ayat dari suatu surat atau berupa satu surat pendek lengkap. Turunnya Al Qur’an kadangkala di latar belakangioleh sesuatu (asbabun nuzul) kadang kala tidak.Ayat ayat yang memiliki asbabun nuzul pada umumnya berupa ayat ayat hukum (tasyri’iyyah). Turunnya ayat ayat itu adakalanya berupa peristiwa yang terjadi di masyarakat islam, adakalanya pertanyaan dari kalangan sahabat nabi atau ddari kalangan lainnya yang ditujukan pada nabi. Sedangkan ayat ayat yang turun tanpa di dahului asbabun nuzul lebih banyak jumlahnya, misalnya ayat ayat tentang ihwal umat umat terdahulu beserta para nabinya, menerangkan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lalu, menceritakan hal-hal yang ghaib yang akan terjadi atau menggambarkan keadaan hari kiamat beserta nikmat surga dan siksa neraka.
Sedangkan penyampaian al Qur’an secara keseluruhan memakan waktu kurang lebih 23 tahun, yakni 13 tahun ketika nabi masih tinggal di makkah sebelum hijrah ke madinah (yatsrib) dan 10 tahun ketika beliau hijrah ke madinah.
Surat atau ayat Al Qur’an yang diturunkan sebelum nabi hijrah disebut surat atau ayat makkiyah sebanyak 19 jus dari 30 juz.Ciri-cirinya; surat atau ayatnya pendek-pendek,bahasanya singkat padat, kalimatnya banyak diawali dengan yaa ayyuhannaas. Surat makkiyah pada umumnya berupa ajakan untuk bertauhid secara murni (pure monoteisme), juga tentang pembinaan mental dan akhlak.
Contoh surat al-Kauthar 1-3:
!$¯RÎ) š
»oYø‹sÜôãr& trOöqs3ø9$# ÇÊÈ Èe@|Ásù y7În/tÏ9 öptùU$#ur ÇËÈ žcÎ) št¥ÏR$x© uqèd çŽtIö/F{$# ÇÌÈ
Sedangkan Al Qur’an yang diturunkan setelah hijrah disebut surat atau ayat madaniyah yang terdiri dari 11 juz dari 30 juz Al Qur’an. Ciri-cirinya; ayat atau suratnya panjang-panjang, gaya bahasanya panjang lebar dan lebih jelas, banyak ayat-ayatnya diawali "يا ايها الذين امنوا". Mengenai kandungan surat madaniyah pada umumnya berupa norma-norma hukum untuk pembentukan dan pembinaan pranata sosial dan negara yang adil dan makmur dimana kondisi masyarakat madinah pada waktu itu lebih berperadaban ketimbang penduduk makkah yang hanya memiliki satu karakter, satu lingkungan, agama yang homogen, sehingga sangat tepat agenda rasulullah untuk periode ini membangun negara Madinah.
Contoh Surat al-Maidah 1:
$yg•ƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qèù÷rr& ÏŠqà)ãèø9$$Î/ 4 ôM¯=Ïmé& Nä3s9 èpyJŠÍku5 ÉO»yè÷RF{$# žwÎ) $tB 4‘n=÷FムöNä3ø‹n=tæ uŽö
xî ’Ìj?ÏtèC ωøŠ¢Á9$# öNçFRr&ur îPããm 3 ¨bÎ) ©!$# ãNä3øts† $tB ߉ƒÌムÇÊÈ

d. Hikmah Turunnya Al Qur’an Secara Berangsur-angsur
Hikmah diturunkan Al Qur’an secara berangsur-angsur, antara lain :
1. Untuk meneguhkan hati nabi dalam melaksanakan tugas sucinya sekalipun menghadapi berbagai tantangan dan hambatan yang beraneka ragam, menghibur nabi pada saat menghadapi kesulitan, kesedihan atau perlawanan dari orang-orang kafir.
2. Untuk meneguhkan dan menghibur hati umat islam yang hidup di masa nabi.
3. Untuk memudahkan nabi menghafal Al Qur’an, sebab beliau adalah ummi, demikian juga untuk memudahkan para sahabat nabi yang buta huruf.
4. Untuk memberikan alokasi waktu sebaik baiknya kepada umat islam agar meninggalkan sikap dan mental juga tradisi-tradisi pra islam yang negatif secara berangsur-angsur, karena mereka telah dapat menghayati ajaran-ajaran Al Qur’an secara bertahap pula.
e. Kandungan Al Qur’an
Isi ajaran Al qur’an pada hakekatnya mengandung lima prinsip, sebab tujuan pokok diturunkan Al Qur’an kepada nabi Muhammad untuk di teruskan kepada umat manusia untuk menyampaikan lima prinsip yang terdapat di dalam Al Qur’an, sebagai berikut:
1. Tauhid (doktrin tentang kepercayaan kepada Allah Yang Maha Esa)
Adam sebagai manusia pertama dan nabi pertama adalah seorang yang bertauhid dan mengajarkan tauhid kepada keturunan atau umatnya, tapi realitanya tidak sedikit manusia keturunannya menyimpang dari ajaran tauhid. Mereka ada yang menyembah api,matahari, dewa dan juga memperanak tuhan dan sebagainya. Untuk meluruskan kepercayaan mereka kearah yang benar, yang di ridhai Allah, maka diutuslah nabi dan rasul secara silih berganti, mulai dari nabi Adam AS sampai nabi Muhammad SAW sebagaimana Allah berfirman, QS. An- Nahl:36 dan QS. Al-Ahzab:40

2. Janji (wa’ad) dan Ancaman (wa’id)
Allah menjanjikan kepada setiap manusia yang beriman dan beramal shaleh akan mendapatkan kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat dan akan di jadikan pelestari bumi. Sebaliknya, Allah akan mengancam pada setiap orang yang ingkar kepadaNya dan rasulNya, hidupnya akan mendapatkan kesengsaraan, baik di dunia maupun di akhirat, sebagaimana firman Allah, QS. An-Nur:55 dan Qs. At-Taubah:67-68.
3. Ibadah
Tujuan Allah menciptakan manusia untuk beribadah kepadaNya, sebagaimana firman Allah, QS. Adz-Dzariyat:56. Ibadah bagi manusia berfungsi sebagai manifestasi syukur manusia kepada Tuhannya, atas segala nikmat yang telah di berikan kepadanya, serta ibadah juga berfungsi sebagai realisasi dan konsekwensi logis manusia atas keimanannya kepada tuhan, karena tidak cukup bagi manusia hanya beriman tanpa di sertai amal, sebagaimana pula tidak cukup beramal tanpa di dasari iman. Iman dan amal adalah satu paket yang harus di sejajarkan secara proporsional untuk mencapai kualitas insan kamil.
4. Jalan Dan Cara Mencapai Kebahagiaan.
Untuk mencapai kebahagiaan Allah memberikan petunjuk untuk umat islam dalam Al Qur’an untuk dapat dijadikan pedoman hidup, sebagaimana firmanNya, QS. Al-Baqarah:2.


5. Kisah-kisah umat manusia sebelum umat Nabi Muhammad SAW.
Potret kehidupan umat terdahulu sangat banyak terdapat dalam Al-Qur’an, baik menyangkut peran manusia sebagai protagonis dan antagonis.Kisah-kisah yang terdapat dalam Al Qur’an memiliki nilai berharga bagi umat nabi Muhammad untuk dapat di jadikan ibrah, yaitu mereka dapat mengambil sisi positifnya dan menjauhi sisi negatifnya, Allah berfirman, QS. Yusuf:111
Kelima prinsip tersebut diatas secara global tergambar dalam surat Al-Fatihah, sebagai surat pembuka. Oleh karena itu surat Al –Fatihah dapat di sebut sinopsis atau populer di sebut ummul kitab (induk Al-Qur’an) karena dapat memproyeksikan isi pokok Al-Qur’an secara global.
f. Fungsi Al-Qur’an
Al-Qur’an memiliki beberapa fungsi, diantara fungsi pentingnya adalah:
1. Sebagai sumber monumental segala macam aturan tentang akidah, akhlak,hukum,ekonomi, politik, kebudayaan, pendidikan,dan sebagainya yang harus di jadikan way of life bagi seluruh umat manusia untuk memecahkan persoalan-persoalan yang di hadapinya.QS. Al-Ahzab:36.
2. Sebagai mukjizat nabi Muhammad untuk membuktikan bahwa nabi Muhammad adalah nabi dan rasul Allah dan bahwa Al Qur’an adalah firman Allah, bukan ciptaan nabi Muhammad sendiri.
3. Sebagai hakim yang di beri wewenang oleh Allah untuk memberi keputusan terakhirmengenai masalah yang diperselisihkan oleh pemimpin dari berbagai macam agama sekaligus sebagai korektor terhadap kepercayaan yang menyimpang dari yang sebenarnya yang di lakukan oleh pemeluk agama setelah rasul mereka wafat . Allah berfirman QS.An-Nahl:64.
4. Sebagai penguat kebenaran keberadaan para nabi dan rasul sebelum nabi muhammad. Hanya saja ajaran-ajaran mereka beserta kitab-kitab sucinya sudah tidak orisinil lagi, karena tidak sedikit yang telah di ubah oleh para pemimpin mereka. Allah b erfirman,QS.Al-Maidah:48

PEMBUKUAN DAN PEMBAKUAN AL-QUR’AN
Penulisan Al Qur’an terdiri dari beberapa periode hingga pada tahap pembukuan serta pembakuannya, yaitu :
a. periode nabi Muhammad SAW
Nabi Muhammad menaruh perhatian serius untuk penulisan wahyu. Beliau menunjuk beberapa sahabat untuk dijadikan sekertaris, penulis wahyu dengan menyusun tertib ayat sesuai petunjuk beliau berdasarkan petunjuk Allah lewat malaikat jibril. Mereka diantaranyaadalah, Zait bin Tsabit, Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Abdullah bin Mas’ud, Anas bin Malik, Ubai bin Ka’ab, Muawiyah bin Abu Sufyan, Zubair bin Awwam, Abdullah bin Arqam, Abdullah bin Rawahah dan lainnya. Namun yang paling berkompeten diantara mereka adalah Zait bin Tsabit.
Semua ayat Al Qur’anyang di tulis dihaddapan nabi di tulis di atas benda yang bermacam-macam, antara lain batu, tulang, kulit binatang, pelepah kurma dan sebagainya, di simpan di rumah nabi dalam keadaan masih terpencar-pencar ayatnya, belum terhimpun dalam satu mushaf.Di samping itu para penulis wahyu secara pribadi masing-masing membuat naskah dari tulisan ayat-ayat tersebut untuk koleksi pribadi masing-masing.
Naskah Al-Qur’an yang di simpan di rumah nabi dan di perkuatoleh naskah-naskah yang di buat oleh para penulis wahyu serta di tunjang oleh hafalan para sahabat yang banyak jumlahnya akan dapat menjamin Al-Qur’an tetap terpelihara secara lengkap dan orisinil. Sebagaimana janji Allah dalam Al-Qur’an (QS. Al- Hijr:9) bahwa Allah akan menjaganya sepanjang masa.
b. Periode Khalifah Abu Bakar
Setelah nabi Muhammad wafat, lalu Abu Bakar di pilih sebagai khalifah, terjadilah gerakan pembangkangan membayar zakat dan gerakan keluar dari agama islam dibawah pimpinan Musailamah al Kadzdzab. Gerakan ini segera di sikapi oleh Abu Bakar dengan mengirimnya pasukan yang di pimpin oleh Khalid bin Walid. Terjadilah perang fisik di Yamamah pada tahun 12 H, yang menimbulkan korban tidak sedikit dari kalangan muslimin, termasuk 70 sahabat yang hafal Al-Qur’an terbunuh sebagai syuhada.
Peristiwa tragis ini mendorong Umar bin Khattab untuk menyarankan kepada Abu Bakar agar segera di himpun ayat-ayat Al-Qur’an dalam bentuk mushaf, karena dikhawatirkan hilangnya sebagian al-Qur’an dengan wafatnya sebagian para penghafalnya. Inisiatif Umar dapat diterima oleh Abu Bakar setelah di adakan diskusi dengan pertimbangan-pertimbangan yang seksama.Kemudian Abu Bakar segera memerintah Zaid bin Tsabit untuk segera menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an dalam satu mushaf. Namun Zaid merasa keberatan dengan tawaran ini, karena hal ini menurut Zaid tidak pernah di lakukan oleh nabi. Tapi berkat diplomasi yang dilakukan oleh Abu Bakar yang sepenuhnya di dukung oleh Umar bin khattab, akhirnya Zaid menerimanya dengan lapang dada. Zaid bin Tsabit sangat hati-hati dalam menjalankan tugas berat ini , sekalipun ia seorang penulis wahyu utama dan hafal seluruh Al-Qur’an,.dia dalam menjalankan tugasnya berpegang pada dua hal, yaitu:
1. Ayat-ayat Al-Qur’an yang di tulis di hadapan Nabi dan yang di simpan di rumah Nabi.
2. Ayat-ayat yang di hafal oleh para sahabat yang hafal Al-Qur’an .
Zaid tidak mau menerima tulisan ayat-ayat Al-Qur’an, kecuali dengan disaksikan oleh dua orang saksi yang adil, bahwa ayat-ayat itu benar-benar ditulis di hadapan nabi dan atas perintah dan petunjuknya.
Tugas menghimpun Al-Qur’an itu dapat dilaksanakan oleh Zaid dalam waktu kurang lebih satu tahun, yakni antara setelah terjadinya perang yamamah dan sebelum wafatnya Abu Bakar. Dengan demikian tercatatlah dalam sejarah, bahwa Abu Bakar sebagai orang yang pertama kali menghimpun Al-Qur’an dalam mushaf atas inisiatif Umar bin Hattab dan Zaid bin Tsabit yang ditunjuk untuk menulisnya.
Mushaf Al-Qur’an karya Zaid bin Tsabit itu disimpan oleh Abu Bakar kemudian Umar setelah Abu Bakar wafat, lalu Hafsah putri Umar selaku istri nabi yang ia hafal Al-Qur’an juga bisa baca tulis.


c. Periode Khalifah Utsman bin Affan
Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan, terjadilah perbedaan bacaan Al-Qur’an di kalangan umat islam. Kalau hal ini dibiarkan akaan mengganggu terhadap persatuan dan kesatuan umat Islam.Karena itu sahabat Hudzaifah menyarankan kepada Utsman agar segera mengusahakan keseragaman bacaan Al-Qur’an dengan caara menyeragamkan tulisan Al-Qur’an. Kalau misalnya masih terjadi perbedaan bacaan diusahakan masih dalam batas-batas ma’tsur (diajarkan oleh nabi), mengingat Al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan tujuh dialek bahasa arab yang hidup pada masa itu.
Utsman bin Affan dapat menerima ide pembakuan Al-Qur’an ini , kemudian membentuk panitia yang terdiri dari empat orang yaitu, Zaid bin Tsabit, Sa’id bin Al Ash, Abdullah bin Zubair dan Abdurrahman bin harits bin Hisyam. Panitia ini di ketuai oleh zaid bin Tsabit yang bertugas menyalin Al-Qur’an yang disimpan oleh Hafsah, sebab mushaf Hafsah dipandang sebagai naskah al-Qur’an standar.
Panitia bekerja menyalin mushaf ini hingga menghasilkan lima buah mushaf untuk di kirim ke beberapa daerah, dengan di sertai instruksi bahwa mushaf Al-Qur’an yang berbeda dengan mushaf Utsman yang dikirim tersebut harus dimusnahkan. Publik pada waktu itu, termasuk para sahabat nabi menyambut baik terhadap terbitnya mushaf Utsmani (mushaf al Imam)ini, dan mematuhi instruksi Utsman bin Affan dengan senang hati.
Setelah tim penyusun berhasil melaksanakan tugasnya, mushaf Hafsah yang di pinjamnya itu di kembalikan kepada Hafsah. Marwan bin Hakam, seorang khalifah bani Umayyah (w.65H) pernah meminta Hafsah agar mushafnya di bakar, tetapi di tolak oleh Hafsah. Baru setelah Hafsah wafat , mushafnya diambil oleh Marwan , kemudian di bakarnya. Tindakan Marwan ini dilakukan karena terpaksa, untuk menjaga eksistensi keseragaman Al-Qur’an yang telah di bakukan oleh Utsman, juga untuk menghindari keragu-raguan umat Islam di masa mendatang terhadaap mushaf Al-Qur’an jika masih terdapat dua macam mushaf , yaitu mushaf Hafsah dan mushaf Utsman.

PEMBUKUAN AUTENTISITAS AL-QUR’AN
Sudah merupakan wacana klasik perdebatan tentang status Al-Qur’an , apakah Al-Qur’an bersifat “qadim” atau “hadits”, apakah Al-Qur’an bersifat “azali” ataukah diciptakan. Perbedaan ini meruncing di antara dua kelompok Islam (mutakallimin).yaitu kelampok mu’tazilah dan kelompok ahlus sunnah wal hadits.
Di samping itu, keautentikan Al-Qur’an menjadi pembahasan serius di kalangan ahli Al-Qur’an. Masalah yang muncul adalah bagaimana proses penurunan Al-Qur’an itu sendiri. Konsep yang kemudian di rumuskan adalah bahwa Al-Qur’an diturunkan melalui dua fase.Fase pertama, Al-Qur’an di turunkan secara sekaligus dari Lauh al-Mahfudz ke langit dunia.Sedangkan fase kedua Al-Qur’an diturunkan secara bertahaap dari langit dunia ke bumi melalui nabi Muhammad sebagai utusan Allah.Pemikiran ini dapat menjembatani kesenggangan mengenai problem keqadiman dan kehaditsan Al-Qur’an. Namun konsep ini menurut Ali Shadiqin, hanya dapat di pahami pada tataaran teologis, karena secara empiris, Al-Qur’an di turunkan di tengah-tengah masyarakat yang memiliki kebudayaan yang mengakar.Artinya secara historis Al-Qur’an tidak turun dalam ruang hampa yang tanpa konteks. Sebagai pesan Tuhan, wahyu memiliki obyek sasaran dan sasaran itu adalah masyarakat arab pada abad ke 7 Masehi. Dengan demikian, melepaskan wahyu dari konteks sosial budayanya adalah pengabaian terhadap historitas dan realitas.
Para ulama ahli Al-Qur’an juga mengakui keterkaitan wahyu dengan konteks dengan memunculkan konsep makkiyah-madaniyah tidak hanya mengidentifikasi ayat berdasarkan tempat turunnya, tetapi pesannya juga terkait dengan problem kemasyarakatan di wilayah tersebut. Asbabun nuzul mengindikasikan adanya proses resiprokasi antara wahyu dengan realitas. Seakan-akan wahyu memandu dan memberikan solusi terhadap problem-problem yang muncul saat itu. Di sisi lain nasikh mansukh, merupakan proses penahapan pengiriman pesan Ilahi dengan penyesuaian terhadap realitas yang berkembang. Konsep-konsep tersebut menunjukkan indikasi bahwa Al-Qur’an adalah di ciptakan(makhluk) tuhan untuk masyarakat penerimanya .
Indikasi lainnya dapat dilihat pada proses dialektika antara wahyu dengan budaya lokal arab. Proses penurunan Al-Qur’an mengindikasikan penggunaan pendekatan budaya dari pemberi pesan (Tuhan) kepada penerima pesan. Dari segi bahasa misalnya, Al-Qur’an menggunakan bahasa objek penerima, yaitu bahasa arab. Penggunaan bahasa arab sebagai media penyampai pesan Tuhan tentu memiliki pertimbangan efektifitas komunikasi dan transformasi dari pemberi pesan kepada penerima pesan. Penerima pesan akan dapat menangkap pesan wahyu yang di sampaikan karena menggunakan bahasa mereka sendiri.
Di samping itu juga, pemilihan Nabi Muhammad sebagai rasul penyampai pesan Al-Qur’an juga menggunakan pendekatan budaya. Dari segi suku, nabi Muhammad berasal dari suku quraisy, suku yang paling mulia dan dihormati oleh suku-suku arab lainnya. Apa yang disampaikan beliau akan mudah di dengar oleh suku lain, disamping karena keutamaan dan keteladanan pribadinya.
Tuhan juga menggunakan budaya lokal sebagai media untuk mentransformasikan ajaran-Nya.Hal ini terlihat dengan banyaknya budaya lokal berdialektika dengan Al-Qur’an. Adat istiadat itu meliputiberbagai bidang, baik keagamaan,sosial, ekonomi, politik maupun hukum.
KESIMPULAN
1.Pembukuan al-Qur’an dilatar belakangi banyaknya para penghafal al-Qur’an yang wafat atau gugur. Pembukuan ini terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar as Shiddiq atas prakarsa Umar bin Khattab dengan ketua tim penulisnya Zaid bin Thabit.
2. Pembakuan al-Qur’an dilatar belakangi banyak perbedaan bacaan al-Qur’an yang dapat mengakibatkan perpecahan Umat Islam. Pembakuan ini terjadi pada masa khalifah Uthman bin Affan atas saran Hudaifah dengan tim yang sama dengan tim pembukuannya.
3. Selaku Pemakalah saya sangat setuju dengan pendapat yang masyhur saat ini yang sepakat bahwa:
a. Tata letak surat dan ayat Al-Qur’an itu tauqifi
b. Al-Qur’an itu Hadith namun isinya adalah Qadim
http://referensiagama.blogspot.com

subiantoro: Makalah Ibnu Rusyd

subiantoro: Makalah Ibnu Rusyd: TUGAS KULIAH IBNU RUSYD    DI SUSUN OLEH :   SUBIYANTORO         NI...

subiantoro: Makalah Ibnu Rusyd

subiantoro: Makalah Ibnu Rusyd: TUGAS KULIAH IBNU RUSYD    DI SUSUN OLEH :   SUBIYANTORO         NI...

Makalah Ibnu Rusyd


TUGAS KULIAH
IBNU RUSYD




   DISUSUN OLEH:
 SUBIYANTORO
        NIM :1550020
 
   
DOSEN : ISA ANSORI, M.Ag
MATA KULIAH : FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (MADIN)
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA
2012





IBNU RUSYD

       BAB I
         PENDAHULUAN
A.Latar belakang
Kehadirannya dalam sejarah intelektualisme islam signifikan baik bagi usaha mengurai benang kusut pemikiran maupun dalam menghidupkan kembali filsafat yang telah memasuki titik nadir. Hal terpenting dari kiprah Ibnu Rusyd dalam bidang ilmu pengetahuan adalah usahanya untuk menerjemahkan dan melengkapi karya-karya pemikir Yunani, terutama karya Aristoteles dan Plato, yang mempunyai pengaruh selama berabad-abad lamanya. Antara tahun 1169-1195 M.
Ibnu Rusyd banyak menulis komentar dan penjelasan terhadap karangan para filosof yunani khususnya Aristoteles baik dalam komentar singkat (al-jami’), sederhana (talkhis), ataupun komentar luas (tafsir), sehingga Ibnu Rusyd juga populer dengan sebutan ”al-Syarih al-Akbar / the great commentator”.
Analisanya telah mampu menghadirkan secara lengkap pemikiran Aristoteles. Ia pun melengkapi telaahnya dengan menggunakan komentar-komentar klasik dari Themisius, Alexander of Aphiordisius, al Farabi dengan Falasifah-nya, dan komentar Ibnu Sina. Komentarnya terhadap percobaan Aristoteles mengenai ilmu-ilmu alam, memperlihatkan kemampuan luar biasa dalam menghasilkan sebuah observasi.
Filosof muslim Cordova ini dianggap sebagai pensyarah pertama yang paling berpengaruh di dataran Eropa. Banyak tokoh Eropa melakukan kajian terhadap karya-karya beliau dalam beberapa bahasa, seperti bahasa latin, dan bahasa Ibrani. Dimana pemikiran dan karya-karya Ibnu Rusyd ini sampai ke dunia Barat melalui Ernest Renan.
Popularitas Ibnu Rusyd terdongkrak saat beliau berhasil menulis ulasan tegas sebagai suatu perlawanan ilmiah atas tuduhan-tuduhan “miring” terhadap para filosuf yang dilancarkan Al-Ghazali dalam bukunya Tahafut Al-Falasifah (Incoherence of Philosophers). Sanggahan yang lugas Ibn Rusyd tersusun dalam karya besarnya Tahafut Al-Tahafut (Incoherence of Incoherence).
Dalam buku sebelumnya--ketika Al-Ghazali pertama-tama mempelajari secara serius tentang filsafat—Al-Munqidz Min Al-Dhalal, ia dalam kapasitasnya sebagai orang dalam (kaum filosuf) mencoba menggolongkan para filosuf ke dalam tiga kelompok, yaitu :
a. Kelompok Dahriyyun (skeptis) yang berkeyakinan bahwa tuhan tidak ada.
b. Kelompok Thabi’iyyun ( Naturalis) , bagi mereka yang sangat tertarik soal-soal kealaman, kesimpulan yang dapat ditarik adalah jiwa akan hancur bersama hancurnya jasad, sehingga tidak ada dunia selain dunia saat ini, tiada alam kubur, akhirat, surga maupun neraka.
Untuk kedua golongan di atas, Al-Ghazali dengan berani menyebut mereka sebagai zindiq atau bahkan kafir.
c. Kelompok Ilahiyyun (Metafisika), mereka mengakui adanya tuhan. Yang tergolong kelompok ini adalah Socrates, Plato, dan Aristoteles.
Sedang pada buku keduanya, Tahafut Al-Falasifah, Al-Ghazali terang-terang memposisikan dirinya sebagai tokoh muslim yang telah mempelajari filsafat dengan mendalam mendobrak dua puluh kesesatan dan kebobrokan filsafat dan para filosuf yang dianggapnya telah membawa kepada bid’ah dengan kafir sebagai ujungnya. Dalam hal ini tak terkecuali para filosuf muslim terutama Al-Farabi dan Ibn Sina. Tiga di antaranya yang kemudian mendapat tanggapan balik cukup kritis dari Ibn Rusyd adalah 1) Kekadiman Alam, 2) Pengetahuan Tuhan terhadap hal-hal yang Universal, dan 3) kebangkitan Jasmani Manusia di Akhirat. Ulasan lebih lanjut akan diuraikan dalam bab pembahasan.
Al-Ghazali begitu luas pengaruhnya sampai ada yang mengatakan tiada orang yang pengaruhnya lebih luas setelah Nabi Muhammad selain Al-Ghazali. Akan tetapi justru karena pengaruh hebat itu hingga “menidurkan” kreatifitas dan semangat keilmuan umat Islam. Tak heran kalau kemudian muncul sinyalemen seperti dituturkan oleh Yusuf Qardawi bahwa Al-Ghazali harus bertanggung jawab atas kemunduran Islam secara keseluruhan.
Bagaimana Ibnu Rusyd menguraikan lebih lanjut teori rasionalnya, inilah yang akan menjadi pokok masalah dalam tulisan berikut.







B .Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan beberapa masalah dalam pembahasan masalah ini, antara lain:
1.      Biografi Ibnu Rusyd.
2.      Karya-karya Ibnu Rusyd.
3.      Pokok-pokok pikiran Ibnu Rusyd.
4.      Analisa penulis tentang pokok pikiran Ibnu Rusyd.
C. Tujuan makalah
      Adapun yang menjadi tujuan  pembuatan makalah ini adalah :
      1.  Untuk memenuhi tugas kuliah
      2.  Mengetahui pokok pikiran Ibnu Rusyd
      3.  Memahami pola pemikiran Ibnu Rusyd
      4.  Memahami pentingnya ilmu filsafat
      5.  Menambah wawasan dan keilmuan








          BAB II
  PEMBAHASAN


A.  Biografi Ibnu Rusyd
Abu Walid Muhammad bin Rusyd lahir di Kordoba (Spanyol) pada tahun 520 Hijriah (1128 Masehi). Ayah dan kakek Ibnu Rusyd adalah hakim-hakim terkenal pada masanya. Ibnu Rusyd kecil sendiri adalah seorang anak yang mempunyai banyak minat dan talenta. Dia mendalami banyak ilmu, seperti kedokteran, hukum, matematika, dan filsafat. Ibnu Rusyd mendalami filsafat dari Abu Ja'far Harun dan Ibnu Baja.
Ibnu Rusyd adalah seorang jenius yang berasal dari Andalusia dengan pengetahuan ensiklopedik. Masa hidupnya sebagian besar diberikan untuk mengabdi sebagai "Kadi" (hakim) dan fisikawan. Di dunia barat, Ibnu Rusyd dikenal sebagai Averroes dan komentator terbesar atas filsafat Aristoteles yang memengaruhi filsafat Kristen di abad pertengahan, termasuk pemikir semacam  St. Thomas Aquinas’ Banyak orang mendatangi Ibnu Rusyd untuk mengkonsultasikan masalah kedokteran dan masalah hukum.
B.  Karya-Karya Ibnu Rusyd.
Sejarah mencatat bahwa Ibn Rusyd adalah seorang sarjana yang sangat produktif. Ia rajin menimba ilmu dan mengamalkannya, membaca dan mengarang, sehingga tak satu malam pun berlalu tanpa guna, kecuali hanya dua malam saja, yaitu hari meninggal ayahnya dan malam perkawinannya.
Ia menulis sejak usia 34 tahun (usia paling pruduktif, tak menafikan bahwa beliau sudah menulis sebelum usia itu—pen.)dan tak pernah berhenti hingga menjelang wafatnya. Adalah Ernest Renan, setelah menjelajah ke berbagai perpustakaan Eropa, menemukan daftar karya-karya Ibn Rusyd di perpustakaan Escurial, Madrid yang berjumlah 78 buku yang terperinci sebagai berikut :
28 buah dalam ilmu falfafat
20 buah dalam ilmu kedokteran
8 buah dalam ilmu hukum (fiqih)
5 buah dalam ilmu teologi (kalam)
4 buah dalam ilmu perbintangan (astronomi)
2 buah dalam ilmu sastra Arab
dan 11 buah dalam berbagai ilmu.
Karya-karya tersebut hanya sedikit yang sampai ke tangan kita, sebagian lagi sudah diterjemahkan ke bahasa Latin dan Yahudi.
Di antara karangan-karangan dalam soal filsafat yang tercatat oleh Poerwantana adalah :
1. Tahafut Al-Tahafut
2. Risalah fi Ta’alluqi Ilmillahi an ‘Adami Ta’alluqihi bi Al-Juz’iyyat
3. Tafsir Ma ba’da al-Thabiat
4. Fasl Al-Maqal fi Ma baina Al-Hikmah wa Al-Syari’ah min Al-Ittishal
5. Al-Kasyfu an Manahij Al-Adillah fi Aqaid Ahli Al-Millah
6. Naqdu Nadzariyat Ibn Sina an Al-Mumkin
7. Risalah fi Al-Wujud Azali wa Al-Wujud Muaqqat
8. Risalah fi Al-Aqli wa Al-Ma’qul.
Bidang Kedokteran
1. Kitab Al-Kulliyat (Culliyat Generalis)
2. Syarh Urjuzat Ibn Sina fi Al-Thib (Comentary sur le Poeme Medical d’Ibn Sina Appele Ajuza)
3. Al-Tiryaq (De la Theriaque)
4. Risalah Al-Mufradat (De Simplicibus)
5. Fi Al-Mijazi Al-Mu’tadil (De Temperamenst Equx un Traite)
dan lain-lain.
Bidang Fiqh
1. Bidayat Al-Mujtahid wa Al-Nihayat Al-Muqtashid
2. Mukhtashar Mustashfa bi Ushul Al-Fiqh
3. Al-Da’awi
4. Durus fi Al-Fiqh
5. Kitab Al-Kharaj
Dan lain-lain
Bidang Politik
1. Jawami’ Siyasiyat Aflathun
2. Talkhis Kitab Al-Ahlaq ila Niqumakhus
3. Al-Kharaj
4. Syarkh Aqidat Al-Imam Mahdi
5. Makasib Al-Muluk wa Murabina Al-Muharram
Dan lain-lain.
Memperhatikan buku-buku di atas, maka karya-karya Ibn Rusyd dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan; komentar, kritik dan pendapat. Adapun komentar terbagi ke dalam tiga kategori; singkat (summary, jami’), sederhana (resume, talkhis), dan luas (comentary, syarh, tafsir).


C.  Pokok – pokok pikiran Ibnu Rusyd

1. Penyelarasan Filsafat dan agama
Dalam pendapatnya Ibn Rusyd menyatakan bahwa filsafat tidak bertentangan dengan Islam. Bahwa orang Islam diwajibkan atau paling tidak dianjurkan mempelajarinya. Tugas filsafat tidak lain ialah berpikir tentang wujud untuk mengetahui pencipta semua yang ada. Dalam Al-Qur’an terdapat banyak ayat yang menghimbau agar mempelajari filsafat.
Untuk menghindari adanya pertentangan antara pendapat akal serta filsafat di satu sisi dan teks Al-Qur’an disisi yang lain, Ibn Rusyd menandaskan bahwa teks Al-Qur’an hendaknya diberi interpretasi sedemikian rupa sehingga sesuai dengan pendapat akal melalui jalan ‘ta’wil. Hal serupa menurutnya telah dilakukan oleh ulama fiqih dalam masalah hukum. Jadi, filosuf pun boleh dan berhak melakukannya.
Dalam menanggapi kandungan isi Al-Qur’an’ ia membagi manusia ke dalam tiga kelompok, yaitu awam (illeteral), pendebat, dan ahli pikir (literal). Kepada golongan awam, Al-Qur’an tidak dapat ditakwilkan, karena mereka hanya hanya dapat memahami secara tertulis, sedangkan kepada golongan pendebat juga sulit untuk disampaikan takwil. Oleh karena itu , takwil harus ditulis hanya dalam buku-buku khusus yang diperuntukkan bagi golongan ahli pikir, agar orang-orang yang bukan ahlinya tidak membaca dan menyebarkannya.
Ibn Rusyd juga menyetujui pendapat bahwa Al-Quran mempunyai makna batin di samping makna lahir yang umum diketahui. Sebab dalam kenyataan memang manusia memiliki naluri dan kemampuan yang berbeda. Makna batin hanya dapat diselami oleh ahli pikir dan filosuf dan tak mampu dicerna kaum awam.
Wahyu dibagi kedalam tiga bentuk makna yang terkandung didalamnya yaitu :
• Teks yang maknanya dapat difahami dengan tiga metode yang berbeda (metode retorik, dialektik dan demonstratif)
• Teks yang maknanya hanya dapat diketahui dengan metode demonstrasi. Makna yang terkandung dalam teks ini terdiri dari:
a) makna dzahir, yaitu teks yang mengandung simbol-simbol (amtsal) yang dibuat untuk menerangkan idea-idea yang dimaksud.
b) makna batin, yaitu teks yang mengandungi idea-idea itu sendiri dan hanya dapat difahami oleh yang disebut ahli al-burhan.
• Teks yang bersifat ambiguos antara dzahir dan batin. Klassifikasi teks wahyu ini juga merujuk kepada kemungkinan untuk dapat difahami dengan akal.
Maka itu ia memahami istilah “ta’wil” sebagai penafsiran dan penjelasan ucapan, ia tetap menekankan pada kesesuaiannya dengan makna dzahir dari lafadz ucapan itu. Dalam pandangannya perkataan dzahir yang dapat difahami dari lafadz bermacam-macam bentuknya, ada yang menurut konteksnya dan ada pula yang difahami sesuai dengan ikatan-ikatan yang ada didalamnya.
Untuk itu, Ibnu Rusyd menetapkan tiga syarat, agar ta’wil itu dapat diterima:
1)  menjaga agar lafadz itu sesuai dengan makna yang terdapat dalam Bahasa Arab dan maksud al-syari’ serta tidak memahami dengan makna lain.
2)  menjaga agar maknanya sesuai dengan yang dimaksudkan oleh pembicara dalam konteks lafaznya.
3)  memperhatikan “mustawa al-ma’rifi” (tingkatan nalar dan pengetahuan) kepada siapa “ta’wil” itu dihadapkan.
Oleh itu kita tidak boleh menta’wilkan lafadz-lafadz al-Qur’an dengan sesuka hati tanpa mengkaji maksud yang sesungguhnya sesuai dengan konteks masing-masing lafadz.
2. Filsafat Jiwa.
Seperti halnya Aristoteles, Ibn Rusyd juga membagi manusia atas dua unsur, materi dan bentuk (forma). Materi adalah jasad, adapun bentuk adalah jiwa. Jiwa merupakan kesempurnaan pertama bagi jasad.
Jiwa terbagi atas lima bentuk, yaitu:
a. Jiwa Nabati (an-nafs an-nabatiyah), yang mempunyai daya-daya: makan/minum, tumbuh dan berkembang biak.
b. Jiwa Inderawi (an-nafs al-hassah), yang memiliki daya melihat, mendengar, mencium, merasa, dan meraba.
c. Jiwa Keinginan (an-nafs an-nuzu’iyyah) yang mempunyai daya mengingini sesuatu yang disenangi dan berpaling dari yang tidak disukai.
d. Jiwa Khayali (an-nafs al-mutakhayyilah), yang mempunyai daya-daya menghayal apa-apa yang telah didapat panca indera.
e. Jiwa Penalaran (an-nafs an-nathiqiyah) yang memiliki daya untuk menanggapi hal-hal yang abstrak yang telah lepas dari materi.
Jiwa yang dimiliki tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia adalah jiwa nabati. Jiwa inderawi dan jiwa keinginan dipunyai hewan dan manusia. Adapun yang khusus diperuntukkan manusia adalah jiwa khayali dan jiwa penalaran.
Dengan jiwa khayali, manusia dapat memproduksi apa yang telah dicapai oleh inderanya dalam bentuk ketidakpastian. Sedangkan dengan jiwa penalaran, manusia dapat mencapai pengetahuan-pengetahuan positif.
Jiwa penalaran mempunyai dua bagian, akal teoritis dan akal praktis. Akal praktis merupakan suatu daya yang dipergunakan setiap orang dalam melaksanakan pekerjaan-pekerjaannya yang praktis. Sedangkan akal teoritis merupakan daya nalar yang banyak tertuang pada hal-hal yang abstrak dan dia lebih bersifat ilahiyah. Oleh sebab itu jiwa akal teoritis ini diaktifkan, ia akan dapat berhubungan dengan akal fa’al.
Dalam usaha mencapai kebenaran, Ibn Rusyd menempuh metode penggunaan nalar (rasional) ketimbang Al-Ghazali yang memilih jalan intuisi (mistikal).


3. Metafisika
Dalam masalah ketuhanan, Ibnu Rusyd berpendapat bahwa Allah adalah Penggerak Pertama (muharrrik awal). Sifat positif yang dapat diberikan kepada Allah ialah “Akal” dan “Ma’qul”. Wujud Allah ialah Esa-Nya. Wujud dan ke-Esaan-Nya tidak berbeda dari Zat-Nya.
Konsepsi Ibnu Rusyd tentang ketuhanan jelas sekali merupakan pengaruh Aristoteles, Plotinus, Al-Farabi, dan Ibnu Sina, disamping keyakinan agama Islam yang dianutnya. Mensifati tuhan dengan “Esa” merupakan ajaran Islam, tetapi menamakan Tuhan sebagai Penggerak Pertama tidak pernah dijumpai dalam pemahaman Islam sebelumnya, hanya ditemukan dalam filsafat para tokoh di atas.
Cara mengenal tuhan menurut golongan tasawuf bukan bersifat pemikiran yang tersusun dari premis-premis yang menghasilkan kesimpulan. Karena menurut mereka mengenal Tuhan dan wujud-wujud lain adalah melalui jiwa ketika sudah lepas dari hambatan-hambatan kebendaan dan menghadapkan pikiran kepada apa yang dituju. Bagi Ibnu Rusyd, pemahaman seperti ini tidak dapat diberlakukan umum. Bahkan, jalan tersebut berlawanan dengan syariat yang menyuruh kita menggunakan akal pikiran.
Ibnu Rusyd menerangkan dalil-dalil yang meyakinkan :
a. Dalil inayah al-ilahiyah (pemeliharaan Tuhan). Dikemukakan bahwa alam ini seluruhnya sangat teratur dan sesuai dengan kehidupan manusia. Persesuaian ini tidak mungkin terjadi secara kebetulan, tetapi menunjukkan adanya pencipta yang bijaksana. Ayat suci yang mendukung dalil ini diantaranya Q.S. Al-Naba’/78: 6-7.
b. Dalil Ikhtira’ (dalil ciptaan). Termasuk dalam dalil ini ialah wujud segala macam hewan, tumbuh-tumbuhan, langit, dan bumi. Segala yang maujud di alam ini adalah diciptakan. Segala yang diciptakan harus ada yang menciptakan, yakni Sang Pencipta. Ayat pendukung dalil ini antara lain Q.S. Al-Hajj/22: 73.
c. Dalil Harakah (gerak). Alam semesta ini bergerak dengan suatu gerakan yang abadi. Gerakan tersebut menunjukkan adanya penggerak pertama yang tidak bergerak dan bukan benda, yakni Tuhan.
Dalil pertama dan kedua disepakati oleh semua pihak sesuai dengan syariat. Dalil-dalil tersebut sesuai pula dengan teori filsafat. Adapun dalil ketiga ialah dalil yang pertama kali dicetuskan oleh Aristoteles yang kemudian dipergunakan Al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd sendiri.
4. Kekadiman dan Kekekalan Alam
Pendapat para filosuf bahwa alam kekal dalam arti tidak bermula tak dapat diterima kalangan teologi Islam, sebab menurut konsep teologi mereka, tuhan adalah Pencipta, yang mengadakan sesuatu dari tiada (cretio ex nihilo). Kalau alam dikatakan tidak bermula, berarti alam bukanlah diciptakan, dan tuhan bukan pencipta. Pendapat ini membawa kekufuran. Demikian Al-Ghazali berargumen.
Para filosuf memang meyakini bahwa alam ini kadim. Kadim yang dimaksud adalah sesuatu yang dalam kejadian terus-menerus (ma huwa fi huduts da’im), tidak mempunyai permulaan dalam waktu. Pendapat ini disimpulkan dari pandangan mereka bahwa alam ini diciptakan dari sesuatu, bukan dari tidak ada.
Ibnu Rusyd menilai pendapat creatio ex nihilo, tidak mempunyai dasar yang kuat. Tidak ada ayat yang mengatakan bahwa tuhan pada mulanya berwujud sendiri, tidak ada wujud lain selain-Nya. Kemudian barulah Ia mencipta alam. 
Surat Fushilat : ayat 11 ; dikatakan bahwa Tuhan menciptakan 2 bumi dalam 2 masa menghiasi bumi dengan gunung dan diisi dengan berbagai macam makanan, kemudian Tuhan naik ke langit, yang masih merupakan uap, sehingga dita’wilkan langit tercipta dari uap.
Surat al-Anbiya’ : ayat 30 ; dikatakan bahwa bumi dan langit pada mulanya adalah satu unsur yang sama, kemudian dipecah menjadi dua benda yang berlainan.
Surat Hud/11: ayat 7 yang berbunyi :
“Dan dialah yang menciptakan langit-langit dan bumi dalam enam hari dan tahta-Nya (pada waktu itu) berada di atas air, agar Dia menguji siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.”
Kandungan ayat itu bagi Ibnu Rusyd bahwa sebelum adanya wujud langit-langit dan bumi, telah ada wujud yang lain, yaitu wujud air yang diatasnya terdapat tahta kekuasaan tuhan. Pendeknya, sebelum langit dan bumi diciptakan, telah ada air dan tahta. Begitu pula pada Q.S. Hamim/41: 11 (penciptaan dari uap) dan Al-Anbiya’/21: 30 (bumi dan langit dari unsur yang sama lalu dipisahkan).
Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa bumi dan langit dijadikan dari uap atau air dan bukan dari tiada. Dengan demikian alam dari arti unsurnya bersifat kekal dari zaman lampau yaitu qadim, dan akan kekal selama-lamanya seperti bunyi ayat Q.S. Ibrahim/4: 47-48.
Untuk menengahi bahwa alam itu qodim, Ibnu Rusyd mengatakan bahwa sebenarnya antara Filosof dan ahli Syari’ah telah sepakat bahwa ada tiga macam “wujud” (yang berkaitan dengan hal ini) :
• Wujud baru (karena sebab sesuatu) Dari sesuatu yang lain, dan kerena sesuatu. Yakni zat pembuat dari benda, ini adalah benda yang kejadiannya bisa terlihat oleh panca indra, seperti terjadinya air, udara, bumi, hewan, tumbuh-tumbuhan, dsb.
Wujud Qodim (tanpa sebab sesuatu) yaitu wujud yang bukan dari sesuatu, tidak karena sesuatu, dan tidak didahului oleh zaman. Wujud ini tidak dapat diketahui dengan bukti-bukti fikiran, seperti “Tuhan”
• Wujud Antara (Wujud diantara kedua wujud ini) wujud yang bukan dari sesuatu, dan tidak didahului oleh zaman, tetapi wujud karena sesuatu (yaitu zat pembuat), wujud itu adalah “alam dan keseluruhan.
5. Pengetahuan Tuhan terbatas Pada Yang Universal
Oliver Leaman menulis, Ibnu Rusyd sebenarnya kurang sependapat dengan pemikiran Ibnu Sina yang menyatakan bahwa Tuhan mengetahui segala sesuatu di alam ini melalui pandangan-Nya yang tajam dengan hanya sekali ”kedipan”. Dalam komentarnya dalam Metaphysics Lambda ia mengkritik pendekatan indentifikasi pengetahuan Tuhan dengan pengetahuan universal. Ibn Rusyd ingin mengambil jarak dari pendapat umum para filosuf yang berpandangan bahwa pengetahuan partikular Tuhan masuk dalam pengetahuan universal-Nya. Sebaliknya ia berpendapat Tuhan mengetahui segala yang ada (termasuk yang partikular) sejak esensi-Nya menyebabkan eksistensi segalanya.
Ia mengambil contoh bahwa kita mengetahui hubungan antara api dan panasnya. Kita tahu apa yang yang menyebabkan panas dan apa yang dinamakan panas. Pengetahuan semacam ini tidak dapat disebut pengetahuan universal maupun partikular.
Agaknya Ibnu Rusyd tidak ingin membedakan antara pengetahuan universal dan partikular. Karena menurutnya Tuhan mengetahui segalanya sejak eksistensi-Nya. Jadi perlu dibedakan antara pengetahuan Tuhan dan manusia. Pengetahuan manusia bersifat baru, sedang pengetahuan Tuhan bersifat kadim, semenjak azali mengetahui segala hal yang terjadi di alam ini betapun kecilnya.
Pertentangan antara Al-Ghazali dan para filosuf timbul dari penyamaan pengetahuan Tuhan dengan pengetahuan manusia. Pengetahuan manusia tentang perincian diperoleh melalui panca indera dan pengetahuan itu akan selalu berubah-ubah dan berkembang sesuai dengan hasil penginderaannya. Adapun pengetahuan Tuhan diperoleh melalui akal dan sifat-Nya. Tidak ada hubungan secara langsung dengan materi yang rinci. Jadi, rupanya Al-Ghazali sedikit kurang memahami maksud para filosuf, demikian Hasyimsyah Nasution menyimpulkan.
6. Pengingkaran Kebangkitan Jasmani.
Para Filosuf yang mengatakan bahwa di akhirat manusia akan dibangkitkan kembali dalam wujud rohani, tidak dalam wujud jasmani adalah kafir. Pendapat Al-Ghazali ini didasarkan pada banyaknya ayat Al-Qur’an yang yang jelas dan tegas menyatakan bahwa manusia akan mengalami pelbagai kenikmatan jasmani di dalam surga atau kesengsaraan jasmani di neraka. Ajaran Al-Qur’an dalam hal ini tidak dapat ditakwilkan.
Dalam membantah gugatan dan vonis Al-Ghazali itu, Ibnu Rusyd menandaskan bahwa para filosuf tidak menolak kebangkitan, bahkan semua agama samawi mengakui adanya kebangkitan ukhrawi. Hanya saja sebagaian berpendapat bahwa kebangkitan tersebut dalam bentuk ruhani dan sebagian lain berpandangan kebangkitan itu dalam bentuk ruhani dan jasmani sekaligus.
Meskipun Ibnu Rusyd cenderung berpendapat bahwa kebangkitan di akhirat nanti dalam bentuk ruhani saja--menurutnya kebahagiaan yang hakiki adalah kebahagiaan jiwa bukan jasmani ,namun ia tidak menafikan kemungkinan kebangkitan jasmani bersama-sama ruhani. Kalaupun kebangkitan ukhrawi tersebut dalam bentuk fisik, dimana ruh-ruh akan menyatu dengan jasadnya sebagaimana keadaannya di dunia, tetapi jasad tersebut bukanlah jasad yang ada di dunia, sebab jasad duniawi telah hancur dan lenyap sehingga mustahil untuk kembali.
Namun sebenarnya, kata Ibnu Rusyd, Al-Ghazali pada akhirnya mengakui bahwa kebangkitan ukhrawi hanya bersifat ruhani saja. Pengakuan ini ia sampaikan dalam bukunya yang bertopik kesufian. Dengan demikian batallah tuduhan pengkafiran kaum filosuf.
D.  Analisa pemikiran Ibnu Rusyd
Filosof muslim penganut madzhab  Maliki dalam bidang fikih ini telah menorehkan warna filsafat yang lebih spesifik. Beliau sangat menyayangkan terjadinya perpecahan dikalangan kaum Muslimin, menjadi golongan-golongan seperti Mu’tazilah, khawarij, Syi’ah dll. Masing-masing mengaku telah mencapai kebenaran, sedang lainnya sesat. Hal ini tidak lain dikarenakan salah memahami maksud Syari’at.
Dengan pemikiran-pemikirannya dan pendapat-pendapatnya ia tidak bermaksud menimbulkan golongan baru, tetapi ia hendak mengemukakan argumentasi-argumentasi kepercayaan-keprcayaan agama yang tepat diterima oleh setiap orang. Tujuan filosof besar ini tak lain hanya ingin mengharmonikan antara agama dan akal, dan sangat mengajarkan pada kita tuk saling menghargai dan ramah tamah.
Dari perspektif penulis, ada suatu penilaian khusus dengan menempatkan filsafat Ibnu Rusyd secara lebih proporsional. Dalam pandangan ini, Ibnu Rusyd bukan seorang materialis murni, juga bukan seorang idealis religius sejati, namun lebih sesuai sebagai filosof muslim yang berusaha merambah jalan tengah diantara dua belantara pemikir islam.







                                                                   BAB III
                                                                  PENUTUP
A.Kesimpulan
Sejatinya Ibnu Rusyd hanya ingin menghidupkan kembali cahaya filsafat yang pada saat itu semakin meredup, bahkan umat islam sampai sekarangpun masih dapat menikmati panorama filsafat itu, meskipun tidak seindah di barat (ini adalah bukti perjuangannya).
Ibn Ruysd tidak sezaman dengan Al-Ghazali. Mereka terpaut satu generasi. Namun perdebatan mereka sungguh seru, terutama dalam tiga soal, yakni kekadiman alam, pengetahuan Tuhan terbatas kepada yang Universal, dan Kebangkitan Jasmani di Akhirat. “Perseteruan ilmiah” itu membuktikan bahwa Islam membuka selebar-lebarnya bagi pencarian dan pencapaian kebenaran, tanpa dibatasi oleh masa, tempat, pangkat atau apapun namanya.
Akhir kalam, apapun pandangan filosofis Ibnu Rusyd sama sekali tidak bermaksud mengatakan bahwa pemikiranya adalah paling benar (karena itu hanya merupakan sebuah ijtihad) Ijtihad seorang manusia bisa saja benar dan bisa saja salah, hakikat kebenaran hanya Allah Swt yang mengetahui dan memilikinya. wallahu a’lam bishawab


Daftar Pustaka
Abidin, Zainal, Ahmad, Riwayat Hidup Ibnu Rusyd, Filosuf Islam terbesar di Barat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), cet. ke-1
Ali,Yunasril, Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), cet. ke-1,
Bertens, K., Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), cet. ke-10
Daudy, Ahmad, (ed.), Segi-segi Pemikiran Falsafi dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), cet. Ke-1
Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1994), jilid 2, cet. Ke-3
Fuad, Ahmad, Al-Ahwani, alih bahasa: Pustaka Firdaus, Filsafat Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), cet. Ke-8
Ghazali, Al-, alih bahasa: Abu Ahmad Najieh, Penyelamat dari Kesesatan , (Surabaya: Risalah Gusti, 1997)
Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1996), cet. ke-6
Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah filsafat Barat I, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), cet. ke-12
Hyman, Arthur & James J. Walsh (Ed.), Philosophy in The Middle Ages, The Christian, Islamic, and Jewish Tradistions, ( New York: Harper & Row, Publishers, 1967),
Kartanegara, Mulyadhi, Mozaik Khazanah Islam, Bunga Rampai dari Chicago, (Jakarta: Paramadina, 2000), cet. Ke-1
Leaman, Oliver, Averroes and His Philosophy, (New York University Press, 1988)
____________, alih bahasa: Amin Abdullah, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: CV. Rajawali, 1989), cet. Ke-1
Madjid , Nurcholish (ed.), Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), cet.ke-3
Madkour, Ibrahim, Fi Al-Fasafah Al-Islamiyah, Minhaj wa Tathbiquhu, juz II, (Mesir: Darul Ma’arif, tt.)
____________,alih bahasa: Yudian Wahyudi dan A. Hakim, Filsafat Islam, Metode dan Penerapan, (Jakarta: CV Rajawali, 1988), Bagian I, cet. ke-1
Musa, Yusuf, alih bahasa: M. Thalib, Al-Qur’an dan Filsafat, ( Yogyakarta, PT. Tiara Wacana yogya, 1991), cet. ke-1
Nasution, Harun, Falsafat dan Mistisime dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1999), cet. ke-10,
Nasution , Hasyimsyah, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999),cet.ke-1
Poerwantana (dkk), Seluk-Beluk Filsafat Islam, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 1994), cet. ke-4,
Praja, Juhaya S., Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Suatu Pengantar, (Bandung: Yayasan PIARA, 1997), h. 136-139
Qardawi, Yusuf, alih bahasa: Pro-Kontra Pemikiran Al-Ghazali, (Surabaya:Risalah Gusti, 1997), cet. Ke-1
Syarif, MM. (ed.), Para Filosuf Muslim, (Bandung : Mizan, 1996), cet. ke-8
Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum, Akal dan Hati, dari Thales sampai James, (Bandung: PT Remaja Rosda karya, 1994), cet. Ke-4, h. 85-101.
Urvoy, Dominique, Ibn Rusyd (Averroes), (New York: Routledge, 1991
.Dr. Manna Ahmad Abu Zaid, Musu’ah al-Falsafah al-Islamiyah. Hal- 68
 Ibnu Rusyd, al-Dhorury fi ushul al-fiqh, Darul maghrib al-Islamy bairut, hal- 64 65.
 Dr. Muhammad ‘Abid al-Jabiri, makalah al-Madrasah al-Falsafiyah fi al-Maghrib wa al-Andalus.
 Abu Hamid Ghazali, Tahafut al-Falasifah, Cairo
 Abu al-Walid Muhammad ibnu Rusyd, Tahafut-Tahafut, Cairo
Averroes and Averroisme, Ernest Renan. Yang diterjemahkan ‘Adil Za’iyyah dalam bukunya “Ibnu Rusyd wa rusydiyah” maktabah al-tsaqofah al-Diniyyah, Cairo.